Senin, 15 Februari 2016

MUNAJAT DIPERJALANAN


الهى علمت باختلاف الاثر و تنكلات الاطوار ان مرادك منى ان تتعرف الى فى كل شيئ حتى لا اجهلك فى شيئ
Tuhanku, lewat perubahan keadaan dan pergantian masa aku menyadari bahwa Engkau hendak memperkenalkan diri-Mu kepadaku dalam segala sesuatu sehingga aku tidak lalai dari-Mu dalam setiap waktu


Ini adalah salah satu munajat Ibnu Atha’illah kepada Tuhannya yang menggambarkan keadaan seorang yang sedang berjalan menuju hadirat Ilahi. Bahwasannya setiap liku dan detail perjalanan itu tidak lah semudah dan semulus yang banyak dibayangkan namun justru sebaliknya semakin jauh perjalanan itu ujian dan marabahaya semakin banyak dijumpai. Apakah marabahaya dalam perjalanan itu? Bukankah semakin dekat dengan percipta maka kita akan semakin jauh dari bahaya? Pertanyaan seperti itu sangat logis diutarakan sebab kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla akan membuahkan ketenangan, namun akan muncul pertanyaan lain setelah itu, dalam ketenangan itu apakah hawa nafsumu juga telah dalam keadaan tenang? Atau ia justru sedang sibuk memperdayamu dengan ketenangan itu?

Ibnu Atha’illah lewat munajatnya telah memberikan gambaran bahwa nafsu akan terus membuntuti perjalanan kita, dan lebih jauh ia akan membuat kita terjerembab didalam ma’siat pada setiap tingkatan keadaan. Namun nafsu itu sendiri hakikatnya justru menjadi sebuah alat, agar kita memetik hikmah dan ibroh yang tersembunyi didalam perjalannmu. Sebab nafsu adalah fitrah yang membuat perjalan itu menjadi semarak dengan ujian, maka dengannya Allah hendak mengajarkan kepada kita, hendak mengenalkan kepada kita keagunga-Nya dengan hikmah disetiap jalan jalan yang kita lewati.

Maka sebaik-baik bekal dalam perjalanan itu adalah taubat, agar perjalanan menjadi ringan. Beban dosa akibat fitrahnya nafsu kita hapuskan terus menerus qolilan fa qolilan. Sehingga yang tersisa setelah rentang jauh perjalanan bukan beratnya beban dosa namun besarnya pengetahuanmu tentang kemahapengaturan Allah Azza wa Jalla, Dan kedekatanmu dengan Allah bukanlah kedekatan semu, namun kedekatan hakiki yaitu kedekatan yang semakin jauh. Apakah kedekatan yang semakin jauh itu, ia adalah keadaan dimana seorang hamba begitu dekat dengan tuhannya namun dikarenakan maqom ubudiyyahnya ia menjadi jauh dari kedekatan dengan sifat-sifat tuhannya. Perasaan yang muncul dalam keadaan seperti itu adalah kegalauan demi kegalauan, rintihan demi rintihan dan diam membisu dalam kebingungan (syeikh Ramadhan Al-buthi menyebutnya sebagai "yataqallabu fi laddzatil-khairoh"). Itulah ketenangan sejati, ketenangan yang menjadi wadah dari nafsu yang selalu bergejolak, Ketenangan yang membuat pemiliknya jauh dari sifat lalai kepada tuhannya.

Tuhanku, aku mendekat kepadamu agar aku mengetahui betapa jauhnya aku dari-Mu” Ibnumatta.